Konflik Iran dan Israel Tegangan Tinggi, tapi Apakah Mereka Benar-Benar Siap Perang Terbuka?

17 April 2024 15:04 WIB

Narasi TV

Dokumentasi bekas gedung Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, yang hancur akibat serangan udara Israel.

Penulis: Jay Akbar

Editor: Akbar Wijaya

Eskalasi konflik bersenjata Iran dan Israel akan sangat ditentukan oleh negara-negara sekutu kedua negara.

Iran melancarkan serangan udara ke zona-zona militer Israel pada Sabtu (13/4/2024) malam sebagai balasan atas diserangnya kantor konsulat mereka di Damaskus, Suriah. Serangan berupa 170 drone, 30 rudal jelajah, dan 110 rudal balistik itu merupakan aksi militer terbuka yang dilakukan dari wilayah kedaulatannya.

Israel menyebut hampir seluruh drone dan rudal balistik Iran berhasil dicegat oleh sistem pertahanan Israel dan sekutunya yakni Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Israel mengklaim serangan itu hanya mengenai salah satu pangkalan udara militernya, tetapi tidak menimbulkan kerusakan serius.

Merespons serangan tersebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tak kuasa menahan kegeramannya. Dalam pernyataan yang disiaran stasiun televisi Israel, Netanyahuberjanji akan memberikan balasan setimpal hingga membuat Teheran merasa tertekan.

"Kami akan menanggapi Iran, tapi akan bertindak bijaksana dan bukan dengan emosi. Mereka perlu diberi tekanan dengan cara yang sama seperti mereka membuat kita merasa tertekan,” kata Netanyahu, Senin (15/4/2024).

Konflik antara Iran dan Israel sebenarnya bukan baru kal ini terjadi dan kerap menjadi salah satu sumber ketegangan di kawasan Timur Tengah. Kedua negara acap berseteru dalam isu-isu yang menyangkut geopolitik di kawasan Timur Tengah maupun dunia.

Namun, konflik keduanya tidak pernah sejelas dan seterbuka sekarang. Serangan-serangan yang dilakukan Israel ke Iran biasanya dilakukan secara diam-diam dengan target-target yang presisi dan terukur. Salah satu contoh teranyarnya adalah serangan yang dilakukan Tel Aviv ke Kantor Konsulat Iran di Damaskus Suriah pada 1 April 2024 lalu. Serangan ini menewaskan tujuh anggota Korps Garda Revolusi Iran, termasuk di antaranya dua jendral senior.

Begitu pun halnya dengan Iran, serangan mereka ke Israel kerap dilakukan lewat negara-negara "tangan kedua" yang menjadi proxy mereka seperti Suriah dan Lebanon.

Sehingga, situasi yang baru saja terjadi menjadi penanda meningkatnya eskalasi konflik bersenjata kedua negara. Pertanyaannya, apakah kedua negara-negara benar-benar siap berkonflik?

Israel Tunggu Dukungan Amerika Serikat dan Konco-konconya

Netanyahu dalam peryataan Senin (15/4/2024) menyiratkan bahwa mereka akan berkoordinasi dengan Amerika Serikat dalam upaya membalas serangan Iran. Hal ini berdasarkan hasil pertemuan antara dirinya dengan pemimpin partai berkuasa Likud.

Israel berjanji akan memberitahu Washington untuk menghindari situasi berbahaya pasukan Amerika Serikat sebagaimana yang terjadi setelah serangan ke Konsulat Iran di Damaskus yang dilakukan tanpa memberitahu Amerika Serikat.

Sementara itu Presiden Israel Isaac Herzog menyatakan bahwa serangan rudal dan pesawat nirawak Iran ke negaranya dapat dianggap sebagai "pernyataan perang". Namun ia masih mempertimbankan apakah akan memberikan balasan militer secara terbuka atau tidak.

Herzog mengatakan saat ini Israel akan mempertimbangkan semua dampak yang berpotensi terjadi saat membahas opsi-opsi yang ada bersama konco-konco mereka.

"Karena kami bisa menahan diri, karena kami tahu (tindakan kami) pasti ada akibatnya, dan karena kami tengah berdiskusi dengan mitra-mitra kami," ucap Herzog.

"Kami tengah mempertimbangkan semua opsi, dan saya cukup yakin kami akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi dan membela rakyat kami," kata dia menambahkan.

Sementara itu, juru bicara kementerian luar negeri Israel Lior Haiat, mengatakan, serangan Iran membuktikan bahwa negara tersebut adalah "ancaman terbesar bagi stabilitas kawasan dan tatanan dunia".

"Inilah alasan pasti mengapa Iran sama sekali tidak boleh memiliki senjata nuklir," kata Haiat dalam pernyataannya di media sosial. Haiat menegaskan bahwa Iran harus mendapat balasan atas serangannya ke Israel.

Joe Biden Tunjukan Sikap Ambigu ke Israel

Namun demikian, Presiden Amerika Serikat Joe Biden masih menunjukkan sikap yang ambigu terkait rencana Tel Aviv menyerang Iran. Saat duduk berdampingan dengan Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani di ruang oval Gedung Putih, Senin (15/4/2024), Biden mengatakan lebih suka dengan opsi gencatan senjata alih-alih meluaskan konflik yang sudah terjadi.

"Kami berkomitmen pada gencatan senjata yang akan memulangkan para sandera dan mencegah meluasnya konflik yang sudah terjadi," ujar Biden untuk kali pertama sejak Iran melancarkan serangan balasan ke zona militer Israel.

Namun Biden juga menegaskan negaranya tetap berkomitmen terhadap keamanan Israel.

"Amerika Serikat berkomitmen terhadap keamanan Israel," kata Biden.

Selain itu, Biden juga menjanjikan keamanan terhadap sekutu-sekutu mereka di Timur Tengah seperti Irak yang berbatasan langsung dengan Iran dan Israel.

"Kami juga berkomitmen terhadap keamanan personel dan mitra kami di kawasan tersebut, termasuk Irak."

"Kemitraan antara Irak dan AS sangat penting."

Uni Eropa Tak Ingin Didikte Israel

Berbeda dengan Amerika Serikat, Uni Eropa menolak didikte Israel untuk menetapkan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran ke dalam daftar organisasi teroris. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz mengaku telah meminta lebih dari 30 negara agar menjatuhkan sanksi terhadap program rudal Iran dan menyatakan IRGC sebagai organisasi teroris. Hal ini juga sejalan dengan permintaan Parlemen Eropa pada Januari 2023 lalu.

Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa Josep Borrell, Selasa (16/4/2024) mengatakan pihaknya tidak bisa begitu saja menuruti kemauan Israel.

“Kami sudah berulang kali membahas penambahan IGRC ke dalam daftar organisasi teroris, seperti yang dilakukan mantan Presiden AS Donald Trump. Namun, ini mengharuskan otoritas peradilan dari negara anggota (UE) mengakui bahwa organisasi ini telah melakukan aksi teroris. Saat ini tidak demikian,” kata Borrell dalam wawancara dengan surat kabar Prancis, Le Monde.

Borrell mengungkapkan pihaknya telah mendapat peringatan dari Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian bahwa Teheran hanya akan menargetkan serangan ke fasilitas-fasilitas militer Israel.

"Kami telah diperingatkan beberapa hari sebelumnya," kata Borrell.

Peringatan itu menurut Borrel membuat Uni Eropa memahami bahwa apa yang dilakukan Iran merupakan respons terkendali atas apa yang mereka alami di Damaskus, Suriah.

"Itu membuat saya memahami bahwa ini adalah respons yang terkendali. Ketika Anda ingin menimbulkan kehancuran, Anda tidak perlu mengirimkan drone yang membutuhkan waktu enam jam untuk mendarat,” kata Borrell.

Borrel mengatakan baik, Iran maupun proxynya tidak sungguh-sungguh siap berperang dengan Israel.

“Saat ini, baik Hizbullah maupun Iran tidak siap berperang," tutur dia.

Borrell menegaskan bahwa tujuan politik EU adalah untuk menghindari eskalasi konflik. Dia mengatakan konflik regional di Timur Tengah tidak akan menguntungkan siapa pun, apalagi bagi warga di Jalur Gaza.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa EU tidak memiliki kekuatan lain selain diplomasi dan persatuan, meskipun beberapa negara anggota, termasuk Jerman, memiliki hubungan yang lebih baik dengan Israel.

“Amerika bisa menggunakan cara lain jika mereka mau, khususnya terkait transfer senjata mereka ke Israel. Mereka mengambil keputusan yang mengikat di masa lalu. Namun saat ini, saya rasa mereka tidak ingin menggunakan pengaruh yang mereka miliki,” kata Borrell.

Ia menyesali adanya “perpecahan yang nyata dan mendalam” di antara negara-negara Eropa mengenai konflik di Timur Tengah, dan mencatat bahwa beberapa negara, seperti Prancis, mengubah posisi dan mulai menyerukan gencatan senjata segera.

“Saya selalu berusaha menyampaikan posisi konsensus: Jika penghentian pasokan air, listrik, dan makanan bagi penduduk yang terkepung melanggar hukum internasional di Ukraina, maka hal yang sama juga terjadi di Gaza,” kata Borrell.

“Jika kami tidak menerima sikap universalis ini, kami dituduh menerapkan standar ganda," ujarnya.

Borrell juga mengatakan bahwa jika menyangkut perang di Ukraina, itu adalah soal ketidakseimbangan kekuatan.

“Rusia tidak perlu menang, cukup tidak kalah. Ukraina, pada bagiannya, harus menang untuk mengusir invasi,” kata dia.

Sikap Uni Eropa yang ogah memperluas eskalasi konflik di Timur Tengah agaknya menjadi salah satu alasan bagi Netanyahu untuk berbicara melalui telepon dengan para pemimpin barat. Menurut lembaga penyiaran publik Israel KAN, Netanyahu enggan berbicara dengan pemimpin Barat lantaran khawatir mendapat tekanan agar tidak membalas serangan Iran.

Laporan itu menyebutkan Netanyahu hanya bersedia berbicara dengan Presiden AS Joe Biden, pada Sabtu pekan ini. Sementara harian Israel Haaretz mengutip seorang pejabat Israel yang mengatakan tekanan internasional terhadap Israel sangat besar dan secara signifikan mempengaruhi keputusan untuk menyerang Iran.

Rusia: Iran Tidak Ingin Melanjutkan Ketegangan

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Iran Ebrahim Raisi mendiskusikan situasi Timur Tengah pascaserangan Israel terhadap Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, 1 April lalu. Kremlin mengatakan pembicaraan telepon kedua pemimpin terjadi berdasarkan inisiatif dari Iran

“Situasi yang memburuk di Timur Tengah setelah serangan udara Israel terhadap misi diplomatik Iran di Damaskus dan tindakan pembalasan yang diambil Iran dibahas secara rinci,” kata Kremlin dalam pernyataannya, Selasa (16/4/2024).

Dalam pembicaraan tersebut, Kremlin mengatakan Putin berharap agar semua pihak di Timur Tengah menahan diri dan tidak membiarkan terjadinya babak konfrontasi baru, menurut Kremlin. Sikap ini juga sejalan dengan keinginan Iran.

“Sebaliknya, Ebrahim Raisi mencatat bahwa tindakan Iran bersifat terpaksa dan terbatas. Pada saat yang sama, dia menekankan ketidaktertarikan Teheran dalam peningkatan ketegangan lebih lanjut,” kata Kremlin.

Rusia yang menjadi sekutu dekat Iran juga tidak akan tinggal diam apabila Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa membantu Israel menyerang Teheran.

Iran Janji Balas Serangan Israel 

Sementara itu, Utusan tetap Iran di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Amir Saeed Iravani pada Minggu (14/4/2024) mengatakan operasi militer negaranya terhadap Israel merupakan upaya untuk membela diri.

“Operasi Iran sepenuhnya merupakan perwujudan dari hak yang melekat pada Iran untuk membela diri. Tindakan yang telah selesai tersebut diperlukan dan proporsional,” ucap Iravani dalam sidang darurat Dewan Keamanan PBB, Minggu (14/4/2024).

Iravani menyatakan bahwa serangan tersebut hanya mengincar instalasi militer dan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk mengurangi potensi eskalasi dan korban warga sipil.

Perwakilan Iran itu justru menyayangkan sejumlah anggota Dewan Keamanan (DK) PBB, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, yang gagal melihat akar masalah yang membuat pihaknya melancarkan aksi tersebut.

“Dengan munafiknya ketiga negara tersebut menyalahkan dan menuduh Iran tanpa memperhatikan kegagalan mereka sendiri dalam menjunjung komitmen internasional mereka untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan kawasan,” kata Iravani.

Ia juga menyebut ada upaya mendiskreditkan hak membela diri Iran dengan kebohongan dan disinformasi.

Selain itu Iravani juga mengingatkan Israel untuk menahan diri dan tidak melakukan serangan militer balasan ke Teheran. Amir menyebut rencana Israel membalas serangan Iran sebagai, "retorika belaka".

Amir mengancam Israel akan menerima konsekuensi yang sudah mereka pahami apabila tetap membalas serangan Iran. "Israel mengetahui bagaimana pembalasan kedua kami," katanya dalam wawancara dengan Skynews.

Melihat situasi yang terjadi hingga kini, perang militer terbuka antara Israel dan Iran agaknya akan sangat ditentukan oleh negara-negara proxy mereka, salah satunya pembicaraan antara Biden dengan Netanyahu, Sabtu mendatang.

NARASI ACADEMY

TERPOPULER

KOMENTAR